Berkata seorang ulama : “Janganlah engkau
menjadi musuh Iblis tatkala engkau di tengah orang banyak, namun
tatkala engkau bersendirian maka engkau menjadi sahabatnya” Suatu
nasehat yang sangat luar biasa kepada kita, agar jangan sampai kita
masih berhias dengan sifat kemunafikan, Nampak sebagai orang sholeh di
hadapan masyarakat namun tatkala bersendirian menjadi teman Iblis.
====================================================
Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
“Sederhana dalam As-Sunnah lebih baik
daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.” (Ibnu Nashr, 30,
Al-Lalikai 1/88 no. 114, dan Al-Ibanah 1/320 no. 161)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
“Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah.” (Al-I’tisham, 1/112)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata:
Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan:
“Berpegang dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu tercabut
dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan
dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan
agama).” (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimi, 1/58 no. 16)
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
“Berhati-hatilah kamu, jangan sampai menulis
masalah apapun dari ahli ahwa’, sedikit atau pun banyak. Berpeganglah
dengan Ahlul Atsar dan Ahlus Sunnah.” (As-Siyar, 11/231)
Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata:
“Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih
meskipun seluruh manusia menolakmu dan jauhilah pendapat orang-orang
(selain mereka) meskipun mereka menghiasi perkataannya terhadapmu.”
(Asy-Syari’ah hal. 63)
(Lammuddurril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al-Haritsi)
===========================================================
Introspeksi Diri
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata:
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah
penanggung jawab atas dirinya, (karenanya hendaknya ia senantiasa)
mengintrospeksi diri kerena Allah Subhanahu wa ta’ala semata.”
“Adalah hisab (perhitungan amal) di Yaumul
Qiyamah nanti akan terasa lebih ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa)
mengintrospeksi diri mereka selama masih di dunia, dan sungguh hisab
tersebut akan menjadi perkara yang sangat memberatkan bagi kaum yang
menjadikan masalah ini sebagai sesuatu yang tidak diperhitungkan.”
“Sesungguhnya seorang mukmin (apabila)
dikejutkan oleh sesuatu yang dikaguminya maka dia pun berbisik: ‘Demi
Allah, sungguh aku benar-benar sangat menginginkanmu, dan sungguh
kamulah yang sangat aku butuhkan. Akan tetapi demi Allah, tiada (alasan
syar’i) yang dapat menyampaikanku kepadamu, maka menjauhlah dariku
sejauh-jauhnya. Ada yang menghalangi antara aku denganmu’.”
“Dan (jika) tanpa sengaja dia melakukan
sesuatu yang melampaui batas, segera dia kembalikan pada dirinya
sendiri sembari berucap: ‘Apa yang aku maukan dengan ini semua, ada apa
denganku dan dengan ini? Demi Allah, tidak ada udzur (alasan) bagiku
untuk melakukannya, dan demi Allah aku tidak akan mengulangi lagi
selama-lamanya, insya Allah’.”
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah suatu
kaum yang berpegang erat kepada Al Qur`an dan memaksa amalan-amalannya
agar sesuai dengan Al Qur`an serta berpaling dari (hal-hal) yang dapat
membinasakan diri mereka.”
“Sesungguhnya seorang mukmin di dunia ini
bagaikan tawanan yang (selalu) berusaha untuk terlepas dari perbudakan.
Dia tidak pernah merasa aman dari sesuatupun hingga dia menghadap
Allah, karena dia mengetahui bahwa dirinya akan dimintai
pertanggungjawaban atas semua itu.”
“Seorang hamba akan senantiasa dalam
kebaikan selama dia memiliki penasehat dari dalam dirinya sendiri. Dan
mengintrospeksi diri merupakan perkara yang paling diutamakan.”
(Mawa’izh Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 39, 40, 41)
============================================================
Cinta Dunia Merupakan Dosa Besar
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
“Tidaklah aku merasa heran terhadap sesuatu
seperti keherananku atas orang yang tidak menganggap cinta dunia
sebagai bagian dari dosa besar.
Demi Allah! Sungguh, mencintainya
benar-benar termasuk dosa yang terbesar. Dan tidaklah dosa-dosa menjadi
bercabang-cabang melainkan karena cinta dunia. Bukankah sebab
disembahnya patung-patung serta dimaksiatinya Ar-Rahman tak lain karena
cinta dunia dan lebih mengutamakannya? (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan
Al-Bashri, hal. 138)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
“Telah sampai kepadaku bahwasanya akan
datang satu masa kepada umat manusia di mana pada masa itu hati-hati
manusia dipenuhi oleh kecintaan terhadap dunia, sehingga hati-hati
tersebut tidak dapat dimasuki rasa takut terhadap Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Dan itu dapat engkau ketahui apabila engkau
memenuhi sebuah kantong kulit dengan sesuatu hingga penuh, kemudian
engkau bermaksud memasukkan barang lain ke dalamnya namun engkau tidak
mendapati tempat untuknya.”
Beliau rahimahullahu berkata pula:
“Sungguh aku benar-benar dapat mengenali kecintaan seseorang terhadap dunia dari (cara) penghormatannya kepada ahli dunia.”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 120)
============================================================
Kejelekan-kejelekan Harta
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam bersabda:
“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, dan pada harta terdapat
penyakit yang sangat banyak.”
Beliau ditanya: “Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa penyakit-penyakitnya?”
Beliau menjawab: “Tidak ditunaikan haknya.”
Mereka menukas: “Jika haknya sudah ditunaikan?”
Beliau menjawab: “Tidak selamat dari membanggakannya dan menyombongkannya.”
Mereka menimpali: “Jika selamat dari bangga dan sombong?”
Beliau menjawab: “Memperindah dan mempermegahnya akan menyibukkan dari dzikrullah (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala).”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)
Beliau rahimahullahu berkata:
“Kelebihan dunia adalah kekejian di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat.”
Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan kelebihan dunia?”
Beliau menjawab: “Yakni engkau memiliki
kelebihan pakaian sedangkan saudaramu telanjang; dan engkau memiliki
kelebihan sepatu sementara saudaramu tidak memiliki alas kaki.”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 76)
============================================================
Sabar Saat Mendapat Musibah
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata:
“Kebaikan yang tiada kejelekan padanya
adalah bersyukur ketika sehat wal afiat, serta bersabar ketika diuji
dengan musibah. Betapa banyak manusia yang dianugerahi berbagai
kenikmatan namun tiada mensyukurinya. Dan betapa banyak manusia yang
ditimpa suatu musibah akan tetapi tidak bersabar atasnya.” (Mawa’izh
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 158)
Beliau rahimahullahu juga berkata:
“Tidaklah seorang hamba menahan sesuatu yang
lebih besar daripada menahan al-hilm (kesantunan) di kala marah dan
menahan kesabaran ketika ditimpa musibah.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan
Al-Bashri, hal. 62)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
“Tiga perkara yang merupakan bagian dari
kesabaran; engkau tidak menceritakan musibah yang tengah menimpamu,
tidak pula sakit yang engkau derita, serta tidak merekomendasikan
dirimu sendiri.” (Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)
============================================================
Beragam Tujuan dalam Menuntut Ilmu
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Janganlah kalian mempelajari ilmu karena
tiga hal: (1) dalam rangka debat kusir dengan orang-orang bodoh, (2)
untuk mendebat para ulama, atau (3) memalingkan wajah-wajah manusia ke
arah kalian. Carilah apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan ucapan dan perbuatan kalian. Karena, sesungguhnya itulah yang
kekal abadi, sedangkan yang selain itu akan hilang dan pergi.” (Jami’ul
‘Ulum wal Hikam, 1/45)
Ishaq ibnu Ath-Thiba’ rahimahullahu berkata:
Aku mendengar Hammad bin Salamah rahimahullahu berkata: “Barangsiapa
mencari (ilmu, -pen.) hadits untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala,
maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuat makar atasnya.”
Waki’ rahimahullahu berkata:
“Tidaklah kita hidup melainkan dalam suatu
tutupan. Andaikata tutupan tersebut disingkap, niscaya akan
memperlihatkan suatu perkara yang besar, yakni kejujuran niat.”
Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata:
“Menuntut ilmu yang merupakan perkara yang
wajib dan sunnah yang sangat ditekankan, namun terkadang menjadi
sesuatu yang tercela pada sebagian orang. Seperti halnya seseorang yang
menimba ilmu agar dapat berjalan bersama (disetarakan, -pen.) dengan
para ulama, atau supaya dapat mendebat kusir orang-orang yang bodoh,
atau untuk memalingkan mata manusia ke arahnya, atau supaya diagungkan
dan dikedepankan, atau dalam rangka meraih dunia, harta, kedudukan dan
jabatan yang tinggi. Ini semua merupakan salah satu dari tiga golongan
manusia yang api neraka dinyalakan (sebagai balasan, -pen.) bagi
mereka.”
(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 10-11, Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin
============================================================
Larangan Berfatwa Tanpa Bimbingan Salafush Shalih
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:
“Siapa saja yang mengatakan sesuatu dengan
hawa nafsunya, yang tidak ada seorang imampun yang mendahuluinya dalam
permasalahan tersebut, baik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ataupun para sahabat beliau, maka sungguh dia telah mengadakan perkara
baru dalam Islam. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda: ‘Barangsiapa yang mengada-ada atau membuat-buat
perkara baru dalam Islam maka baginya laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
para malaikat, dan manusia seluruhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
menerima infaq dan tebusan apapun darinya’.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata kepada sebagian muridnya:
“Hati-hati engkau, (jangan, -pen.)
mengucapkan satu masalah pun (dalam agama pen.) yang engkau tidak
memiliki imam (salaf, -pen.) dalam masalah tersebut.”
Beliau rahimahullahu juga berkata dalam riwayat Al-Maimuni:
“Barangsiapa mengatakan sesuatu yang tidak ada imam atasnya, aku khawatir dia akan salah.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata:
“Adapun para imam dan para ulama ahlul
hadits, sungguh mereka semua mengikuti hadits yang shahih apa adanya
bila hadits tersebut diamalkan oleh para sahabat, generasi sesudah
mereka (tabi’in) atau sekelompok dari mereka. Adapun sesuatu yang
disepakati oleh salafush shalih untuk ditinggalkan maka tidak boleh
dikerjakan. Karena sesungguhnya tidaklah mereka meninggalkannya
melainkan atas dasar ilmu bahwa perkara tersebut tidak (pantas, -pen.)
dikerjakan.”
(An-Nubadz Fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 113-115, Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin )
============================================================
Sebab Hilangnya Agama
Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Jangan ada dari kalian taklid kepada
siapapun dalam perkara agama sehingga bila ia beriman (kamu) ikut
beriman dan bila ia kafir (kamu) ikut pula kafir. Jika kamu ingin
berteladan, ambillah contoh orang-orang yang telah mati, sebab yang
masih hidup tidak aman dari fitnah”.
Abdullah bin Ad-Dailamy berkata:
“Sebab pertama hilangnya agama ini adalah
ditinggalkannya As Sunnah (ajaran Nabi). Agama ini akan hilang Sunah
demi Sunnah sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas”.
Abdullah bin ‘Athiyah berkata:
“Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam
agama kecuali Allah akan mencabut dari mereka satu Sunnah yang
semisalnya. Dan Sunnah itu tidak akan kembali kepada mereka sampai hari
kiamat”.
Az-Zuhri berkata:
“Ulama kami yang terdahulu selalu
mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan.
Ilmu akan dicabut dengan segera. Tegaknya ilmu adalah kekokohan agama
dan dunia sedangkan hilangnya ilmu maka hilang pula semuanya”.
Diambil dari kitab Lammudurul Mantsur Minal Qaulil Ma’tsur yang disusun oleh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsy.
============================================================
Lakukanlah Hal-hal yang Bermanfaat
‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa beranggapan perkataannya
merupakan bagian dari perbuatannya (niscaya) menjadi sedikit
perkataannya, kecuali dalam perkara yang bermanfaat baginya.”
‘Umar bin Qais Al-Mula’i rahimahullahu berkata:
“Sseorang melewati Luqman (Al-Hakim) di saat
manusia berkerumun di sisinya. Orang tersebut berkata kepada Luqman:
“Bukankah engkau dahulu budak bani Fulan?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu berkata lagi, “Engkau yang dulu menggembala (ternak) di sekitar gunung ini dan itu?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu bertanya lagi: “Lalu apa yang
menyebabkanmu meraih kedudukan sebagaimana yang aku lihat ini?” Luqman
menjawab: “Selalu jujur dalam berucap dan banyak berdiam dari
perkara-perkara yang tiada berfaedah bagi diriku.”
Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu bahwasanya beliau berkata:
“Termasuk tanda-tanda berpalingnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari seorang hamba adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan kesibukannya dalam perkara-perkara yang tidak berguna bagi
dirinya.”
Sahl At-Tustari rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa (suka) berbicara mengenai permasalahan yang tidak ada manfaatnya niscaya diharamkan baginya kejujuran.”
Ma’ruf rahimahullahu berkata: “Pembicaraan
seorang hamba tentang masalah-masalah yang tidak ada faedahnya
merupakan kehinaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuknya).”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/290-294)
============================================================
Orang Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata:
“Ada tiga (golongan) yang tidak boleh
diambil ilmunya, (yakni): (1) Seseorang yang tertuduh dengan kedustaan,
(2) Ahlul bid’ah yang mengajak (manusia) kepada kebid’ahannya, dan (3)
seseorang yang dirinya didominasi oleh keraguan serta
kesalahan-kesalahan.”
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata:
“Tidak boleh seseorang mengambil ilmu dari
empat (jenis manusia) dan boleh mengambilnya dari selain mereka
(yaitu): (1) Ilmu tidak diambil dari orang-orang bodoh, (2) Tidak
diambil dari pengekor hawa nafsu yang menyeru manusia kepada hawa
nafsunya, (3) Tidak pula dari seorang pendusta yang biasa berdusta
dalam pembicaraan-pembicaraan manusia meskipun tidak tertuduh berdusta
pada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) Tidak
pula dari seorang syaikh yang memiliki keutamaan, keshalihan serta ahli
ibadah tetapi dia tidak lagi mengetahui apa yang tengah
dibicarakannya.” (n-Nubadz fi ‘Adab Thalabil ‘Ilmi, hal. 22-23)
============================================================
Musibah
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Menangislah kalian atas orang-orang yang
ditimpa bencana. Jika dosa-dosa kalian lebih besar dari dosa-dosa
mereka (yang ditimpa musibah, red), maka ada kemungkinan kalian bakal
dihukum atas dosa-dosa yang telah kalian perbuat, sebagaimana mereka
telah mendapat hukumannya, atau bahkan lebih dahsyat dari
itu.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 73)
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
benar-benar menjanjikan adanya ujian bagi hamba-Nya yang beriman,
sebagaimana seseorang berwasiat akan kebaikan pada
keluarganya.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal.
111)
“Tidak ada musibah yang lebih besar dari
musibah yang menimpa kita, (di mana) salah seorang dari kita membaca
Al-Qur’an malam dan siang akan tetapi tidak mengamalkannya, sedangkan
semua itu adalah risalah-risalah dari Rabb kita untuk kita.” (Mawa’izh
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 32)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Seorang mukmin itu berbeda dengan orang
kafir dengan sebab dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya, membenarkan apa saja yang dikabarkan oleh para Rasul
tersebut, menaati segala yang mereka perintahkan dan mengikuti apa saja
yang diridhai dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan
bukannya (pasrah) terhadap ketentuan dan takdir-Nya yang berupa
kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan-kemaksiatan. Akan tetapi
(hendaknya) dia ridha terhadap musibah yang menimpanya bukan terhadap
perbuatan-perbuatan tercela yang telah dilakukannya. Maka terhadap
dosa-dosanya, dia beristighfar (minta ampun) dan dengan musibah-musibah
yang menimpanya dia bersabar.”
0 comments:
Post a Comment