Dari
sekian banyak imam mujtahid, yang secara formulatif dibukukan
hasil-hasil ijtihadnya dan hingga kini madzhab-madzhabnya masih dianggap
eksis hanya terbatas kepada Imam madzhab yang empat saja, yaitu; al-Imâm Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufy (w 150 H) sebagai perintis madzhab Hanafi, al-Imâm Malik ibn Anas (w 179 H) sebagai perintis madzhab Maliki, al-Imâm Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H) sebagai perintis madzhab Syafi’i, dan al-Imâm
Ahmad ibn Hanbal (w 241 H) sebagai perintis madzhab Hanbali. Sudah
barang tentu para Imam mujtahid yang empat ini memiliki kapasitas
keilmuan yang mumpuni hingga mereka memiliki otoritas untuk mengambil
intisari-intisari hukum yang tidak ada penyebutannya secara sharîh, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits Rasulullah. Selain dalam masalah fiqih (Furû’iyyah), dalam masalah-masalah akidah (Ushûliyyah) para Imam mujtahid yang empat ini adalah Imam-Imam teolog terkemuka (al-Mutakllimûn)
yang menjadi rujukan utama dalam segala persoalan teologi. Demikian
pula dalam masalah hadits dengan segala aspeknya, mereka merupakan
tumpuan dalam segala rincinan dan berbagai seluk-beluknya (al-Muhadditsûn). Lalu dalam masalah tasawwuf yang titik konsentrasinya adalah pendidikan dan pensucian ruhani (Ishlâh al-A’mâl al-Qalbiyyah, atau Tazkiyah an-Nafs), para ulama mujtahid yang empat tersebut adalah orang-orang terkemuka di dalamnya (ash-Shûfiyyah).
Kompetensi para Imam madzhab yang empat ini dalam berbagai disiplin
ilmu agama telah benar-benar ditulis dengan tinta emas dalam berbagai
karya tentang biografi mereka.
Pada
periode Imam madzhab yang empat ini kebutuhan kepada penjelasan
masalah-masalah fiqih sangat urgen dibanding lainnya. Karena itu
konsentrasi keilmuan yang menjadi fokus perhatian pada saat itu adalah
disiplin ilmu fiqih. Namun demikian bukan berarti kebutuhan terhadap
Ilmu Tauhid tidak urgen, tetap hal itu juga menjadi kajian pokok di
dalam pengajaran ilmu-ilmu syari’at, hanya saja saat itu
pemikiran-pemikiran ahli bid’ah dalam masalah-masalah akidah belum
terlalu banyak menyebar. Benar, saat itu sudah ada kelompok-kelompok
sempalan dari para ahli bid’ah, namun penyebarannya masih sangat
terbatas. Dengan demikian kebutuhan terhadap kajian atas faham-faham
ahli bid’ah dan pemberantasannya belum sampai kepada keharusan melakukan
kodifikasi secara rinci terhadap segala permasalahan akidah
Ahlussunnah. Namun begitu, ada beberapa karya teologi Ahlussunnah yang
telah ditulis oleh beberapa Imam madzhab yang empat, seperti al-Imâm Abu Hanifah yang telah menulis lima risalah teologi; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risâlah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Âlim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah, juga al-Imâm
asy-Syafi’i yang telah menulis beberapa karya teologi. Benar,
perkembangan kodifikasi terhadap Ilmu Kalam saat itu belum sesemarak
pasca para Imam madzhab yang empat itu sendiri.
Seiring
dengan semakin menyebarnya berbagai penyimpangan dalam masalah-masalah
akidah, terutama setelah lewat paruh kedua tahun ke tiga hijriyah, yaitu
pada sekitar tahun 260 hijriyah, yang hal ini ditandai dengan
menjamurnya firqah–firqah dalam Islam, maka kebutuhan
terhadap pembahasan akidah Ahlussunnah secara rinci menjadi sangat
urgen. Pada periode ini para ulama dari kalangan empat madzhab mulai
banyak membukukan penjelasan-penjelasan akidah Ahlussunnah secara rinci
hingga kemudian datang dua Imam agung; al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari (w 324 H) dan al-Imâm
Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H). Kegigihan dua Imam agung ini dalam
membela akidah Ahlussunnah, terutama dalam membantah faham rancu kaum
Mu’tazilah yang saat itu cukup mendapat tempat, menjadikan keduanya
sebagai Imam terkemuka bagi kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kedua Imam
agung ini tidak datang dengan membawa faham atau ajaran yang baru,
keduanya hanya melakukan penjelasan-penjelasan secara rinci terhadap
keyakinan yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya
ditambah dengan argumen-argumen rasional dalam mambantah faham-faham di
luar ajaran Rasulullah itu sendiri. Yang pertama, yaitu al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, menapakkan jalan madzhabnya di atas madzhab al-Imâm asy-Syafi’i. Sementara yang kedua, al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi menapakan madzhabnya di atas madzhab al-Imâm
Abu Hanifah. Di kemudian hari kedua madzhab Imam agung ini dan para
pengikutnya dikenal sebagai al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah.
Penamaan Ahl as-Sunnah adalah untuk memberikan pemahaman bahwa kaum ini adalah kaum yang memegang teguh ajaran-ajaran Rasulullah, dan penamaan al-Jamâ’ah
untuk menunjukan para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti
mereka di mana kaum ini sebagai kelompok terbesar dari umat Rasulullah.
Dengan penamaan ini maka menjadai terbedakan antara faham yang
benar-benar sesuai ajaran Rasulullah dengan faham-faham firqah
sesat seperti Mu’tazilah (Qadariyyah), Jahmiyyah, dan lainnya. Akidah
Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah sebagai akidah Ahlussunnah dalam hal ini
adalah keyakinan mayoritas umat Islam dan para ulama dari berbagai
disiplin ilmu. Termasuk dalam golongan Ahlussunnah ini adalah para ulama
dari kalangan ahli hadits (al-Muhadditsûn), ulama kalangan ahli fiqih (al-Fuqahâ), dan para ulama dari kalangan ahli tasawuf (ash-Shûfiyyah).
Penyebutan
Ahlusunnah dalam dua kelompok ini (Asy’ariyyah dan Maturidiyyah) bukan
berarti bahwa mereka berbeda satu dengan lainnya, tapi keduanya tetap
berada di dalam satu golongan yang sama. Karena jalan yang telah
ditempuh oleh al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imâm
Abu Mansur al-Maturidi di dalam pokok-pokok akidah adalah jalan yang
sama. Perbedaan yang terjadi di antara Asy’ariyyah dan Maturidiyyah
adalah hanya dalam masalah-masalah cabang akidah saja (Furû’ al-‘Aqîdah),
yang hal tersebut tidak menjadikan kedua kelompok ini saling menghujat
atau saling menyesatkan satu atas lainnya. Contoh perbedaan tersebut,
prihal apakah Rasulullah melihat Allah saat peristiwa Mi’raj atau tidak?
Sebagian sahabat, seperti Aisyah, Abdullah ibn Mas’ud mengatakan bahwa
ketika itu Rasulullah tidak melihat Allah. Sedangkan sahabat lainnya,
seperti Abdullah ibn Abbas mengatakan bahwa ketika itu Rasulullah
melihat Allah dengan mata hatinya. Dalam pendapat Abdullah ibn Abbas;
Allah telah memberikan kemampuan kepada hati Rasulullah untuk dapat
melihat-Nya. Perbedaan Furû’ al-‘Aqîdah semacam inilah yang
terjadi antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah, sebagaimana perbedaan
tersebut telah terjadi di kalangan sahabat Rasulullah. Kesimpulannya,
kedua kelompok ini masih tetap berada dalam satu ikatan al-Jamâ’ah, dan kedua kelompok ini adalah kelompok mayoritas umat Rasulullah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang disebut dengan al-Firqah an-Nâjiyah, artinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat.
0 comments:
Post a Comment